Stasi Santo Yosep Frainademetz, Paroki Santo Arnoldus Janssen Sorong menggelar acara makan sumbangan, Sabtu (15/6/2024).
Acara makan sumbang ini diselenggarakan dalam rangka mencari penderma berhati ikhlas, guna pembangunan gereja setempat.
Makanan yang disediakan dalam acara makan sumbang ini ialah bakar batu (barapen) dengan menu berupa sayur, daging babi, jagung dan umbi-umbian.
Acara ini dihadiri oleh Letjen TNI (Purn) Joppye Onesimus Wayangkau, Penjabat Wali Kota Sorong Septinus Lobat, Pastor Paroki Pater Mathias Alex Ohoilean, SVD serta umat Katolik di Paroki.
Dalam kesempatan itu, panitia melelang sejumlah makanan lokal yang diolah dengan cara bakar batu.
Makanan yang sudah dikemas itu kemudian dilelang dengan harga standar Rp 2 juta. Kemudian ditawar dengan harga dari Rp 10 juta hingga Rp 20 juta.
Dari ratusan orang yang hadir, Joppye Onesimus Wayangkau acungkan tangan dan memberikan tawaran Rp 30 juta.
Tawaran dari Wayangkau langsung dikunci panitia dan memberikan bingkisan makanan lokal, yang sudah dikemas kepada Wayangkau.
Bakal Calon (Balon) Gubernur Papua Barat Daya itu mengatakan, kehadiran dirinya di acara makan sumbang itu karena ingin membantu pembangunan gereja.
“Semoga bantuan sedikit yang kami dermakan ini bisa membantu proses penyelesaian pembangunan gereja ini,” ungkapnya.
Ia mengaku terkesan, karena acara ini mempersembahkan makanan lokal Papua yakni barapen.
Artinya, acara bernuansa kebudayaan ini merupakan langkah positif dalam menjaga dan melestarikan budaya Papua salah satunya barapen.
“Ini menarik sekali ya, karena barapen ini salah satu budaya Papua yang selalu ada saat makan bersama begini,” ujarnya.
Tradisi Bakar Batu, sambungnya, merupakan salah satu tradisi penting di Papua Pegunungan yang berupa ritual memasak bersama-sama warga satu kampung.
Tujuannya untuk bersyukur, kelulusan, bersilaturahmi (mengumpulkan sanak saudara dan kerabat, menyambut kebahagiaan seperti kelahiran, perkawinan adat, penobatan kepala suku), atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang.
Tradisi Bakar Batu umumnya dilakukan oleh suku pedalaman/pegunungan, seperti di Lembah Baliem, Lanny Jaya, Nduga, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Tolikara dan Yahukimo
Disebut Bakar Batu karena benar-benar batu dibakar hingga panas membara, kemudian ditumpuk di atas makanan yang akan dimasak. (**)