Berita  

Kepala dan Staf BPKAD Kabupaten Sorong Divonis 2 Tahun Penjara, Kuasa Hukum Siap Ajukan Banding

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Manokwari telah menjatuhkan putusan kepada mantan Penjabat Bupati Sorong Yan Piet Mosso, Kepala BPKAD Kabupaten Sorong Efer Segidifat dan Staf BPKAD Kabupaten Sorong Maniel Syafle, Selasa (23/4/2024).

Dimana dalam putusan tersebut, Yan Piet Mosso divonis 1 tahun 10 bulan, Kepala BPKAD Kabupaten Sorong Efer Segidifat dan Staf BPKAD Kabupaten Sorong Maniel Syafle divonis 2 tahun penjara.

Terkait dengan hasil putusan yang telah dibacakan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor, Yance Salambauw selaku Kuasa Hukum Kepala BPKAD Kabupaten Sorong Efer Segidifat dan Staf BPKAD Kabupaten Sorong Maniel Syafle dengan tegas akan mengajukan banding.

“Kami patut menghormati putusan yang disampaikan oleh majelis hakim pada pengadilan Tipikor Manokwari. Namun bagaimanapun juga sebagai penasehat hukum yang mendampingi Efer Segidifat dan Maniel Syafle, kami merasa bahwa putusan itu tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang cermat dan terukur,” ungkapnya saat ditemui awak media, Rabu (24/4/2024).

Menurut Yance, dirinya merasa heran dengan putusan yang ditetapkan kepada ketiga terdakwa, yang tidak dilakukan secara paralel dan logika sehat. Mengapa? Karena dalam tuntutan JPU dari KPK menuntut masing-masing Yan Piet Mosso 3 tahun, Efer Segidifat 2 tahun 6 bulan dan Maniel Syafle 2 tahun.

Namun dalam putusan yang dibacakan majelis hakim, Yan Piet Mosso sivonis 1 tahun 10 bulan. Sedangkan Efer Segidifat dan Maniel Syafle divonis sama yaitu 2 tahun.

“Ini yang membuat kami heran, karena ketiga terdakwa diposisikan oleh majelis faktor-faktor atau hal-hal yang meringankan dan memberatkan adalah sama. Tidak ada satu memiliki faktor keringanan hukuman yang lebih berkualitas atau yang lebih baik daripada yang lain. Ketiga-tiganya diputuskan berdasarkan parameter yang sama oleh majelis hakim, tapi putusannya tidak sebanding dengan parameter yang dimaksudkan oleh hakim,” ujarnya.

Lanjutnya, jika Maniel ditetapkan dalam posisinya tetap 2 tahun sebagaimana tuntutan jaksa, harusnya ada argumentasi tambahan dari majelis mengapa yang bersangkutan tetap. Peran apa yang kemudian menyebabkan yang bersangkutan diputus sama dengan yang dituntut, lalu mengapa yang lain diputus berbeda dengan yang dituntut.

“Ini bagian-bagian yang menjadi tanda tanya bagi kita dan akan disampaikan dalam materi banding. Karena ketika Maniel tidak mendapat perubahan dalam putusannya, sebagai pengacara kami melihat ini ada satu perlakuan yang tidak adil,” imbuhnya.

Terlepas dari itu, kata Yance, selaku kuasa hukum sebetulnya dari awal dirinya meyakini bahwa ini adalah perkara gratifikasi. Sehingga baik Maniel Syafle, Efer Segidifat maupun Yan Piet Mosso tidak dapat dihukum alias putusannya harus bebas.

Karena dalam membacakan pertimbangan, sebetulnya JPU tidak mampu membuktikan dan diikuti pertimbangan hakim yang membuktikan bahwa pemberian uang sebagaimana yang didakwakan itu sudah memiliki kualifikasi sebagai suap.

Katanya, pertimbangan yang disampaikan seolah dengan memberikan uang itu sudah suap, padahal tidak demikian seperti itu.

Dijelaskannya, pengaturan-pengaturan norma tentang pemberian uang itu tidak semata-mata hanya ditujukan kepada suap.

“Jadi orang memberikan uang atau katakanlah pegawai negeri yang satu memberikan uang kepada pegawai negeri yang lain dalam rangka melaksanakan sesuatu kegiatan yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaannya, tidak serta-merta itu merupakan suap. Bisa saja pemberian itu karena pemerasan, gratifikasi dan bisa saja itu karena suap,” bebernya.

Kalau setiap pemberian-pemberian itu dimaknai sebagai suap, sambungnya, maka jangan ada norma atau aturan yang mengatur tentang gratifikasi atau pemerasan. Sebab kalau berdasarkan hanya kepada pemberian uang lalu disebutkan sebagai suap telah terbukti, itu keliru.

“Suap beda dengan gratifikasi dan pemerasan. Jadi kalau basisnya hanya kepada pemberian uang, lalu kemudian menyimpulkan telah terjadi suap itu salah. Pemberian uang tidak semata-mata hanya karena suap, bisa diberikan karena pemerasan dan juga bisa diberikan karena gratifikasi,” tegasnya.

Oleh karena itu, kata Yance, pertimbangan yang disampaikan majelis hakim terkesan seolah-olah dengan memberikan uang maka suap itu sudah terlaksana, ini yang dirinya sesalkan.

“Mengapa kami berkeyakinan bahwa itu gratifikasi, sebab dalam fakta persidangan sebagaimana pertimbangan majelis hakim katakan bahwa pada saat pemeriksaan BPK terhadap entitas Pemda Kabupaten Sorong tidak ada instruksi untuk merekayasa atau mengatur temuan,” ucap Yance.

Jadi pemberian uang yang dimaknai sebagai suap, katanya, harus memiliki unsur bahwa pemberian itu bertujuan untuk mempengaruhi atau dalam istilah normalnya untuk supaya pegawai negeri itu dalam melaksanakan tugasnya atau tanggung jawabnya tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya atau pemberian itu mengakibatkan pegawai negeri atau penyelenggara negara itu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

“Jadi bisa tidak atau melakukan tergantung dalam konteks apa. Kalau dalam konteks pemeriksaan berarti yang diharapkan tidak, adalah diharapkan agar supaya dia tidak melakukan pemeriksaan atau tidak mengekspos temuan yang disinyalir sangat berdampak terhadap pemeriksaan itu. Dan atau pemberian itu menggerakkan pegawai negeri supaya melakukan sesuatu yang tidak boleh, yang harusnya dia melakukan tetapi dengan adanya pemberian uang itu maka dia tidak melakukan itu, ini baru dikategorikan suap,” jelasnya.

Dijelaskan Yance, beda antara suap dan gratifikasi itu ada pada meeting of mind atau tidak. Kalau ada meeting of mind atau persesuaian kehendak, maka disitu ada suap. Tapi kalau tidak ada meeting of mind atau persesuaian kehendak, maka pemberian itu bukan suap tapi gratifikasi.

“Sebetulnya itu di persidangan terungkap, dimana tidak satupun bukti yang mengatakan bahwa ada pengkondisian pemberian uang itu merupakan pengkondisian untuk memiliki unsur suap. Itu penerapan pasal 5 ayat 1 huruf a undang-undang tindak pidana korupsi tentang suap. Jadi kami berkeyakinan bahwa pembuktian unsur keempat dari pasal 5 ayat 1 huruf a undang-undang tindak pidana korupsi tentang suap sebetulnya tidak terpenuhi, sehingga kepada para terdakwa kalau tidak bebas murni minimal perbuatan terbukti tapi bukan tindak pidana sebagaimana didakwakan,” papar Kuasa Hukum Yance Salambauw.

Lanjutnya, perkara ini sebetulnya identik dengan gratifikasi. Dalam hal ini pihaknya tidak membantah atau tidak menolak bahwa tidak ada pemberian uang.

“Kita mengakui ada pemberian uang. Tapi pemberian uang itu tidak serta merta hanya tertuju kepada suap, tidak berarti bahwa seseorang memberikan uang kepada orang lain dalam rangka pelaksanaan tugas adalah suap. Itu akan menjadi suap ketika pemberian itu dimaknai sebagai upaya untuk mempengaruhi putusan,” tandasnya.

Dalam fakta persidangan dan amar putusan, rinci Yance, yang terungkap adalah pemberian uang dari Pemkab Sorong sebesar Rp 430.000.000 dan bukan Rp 1,8 miliar seperti yang awal-awal OTT diekspos.

“Dari total empat ratus tiga puluh juta yang diberikan, sebanyak tiga ratus juta diberikan setelah atau satu hari setelah BPK mengekspos hasil temuan. Dimana dalam temuan itu terdapat 32 item temuan yang juga sangat signifikan. Korelasinya di mana, kalau pemberian uang itu dimaknai sebagai suap maka seharusnya tidak ada pemberian tiga ratus juta lagi, karena pemberian uang tiga ratus juta ini dilakukan pada saat BPK telah menyerahkan hasil temuan,” paparnya.

Kata Yance, dalam pemikiran logis, kalau seandainya itu memang suap maka tidak ada pemberian uang dilakukan pada saat pemeriksaan telah selesai dilaksanakan oleh BPK.

Dijelaskannya, uang Rp 300 juta yang diberikan Pemkab Sorong kepada BPK merupakan uang untuk pembayaran hotel sesuai permintaan BPK.

“Karena mereka mengatakan masih kekurangan atau membutuhkan dana tiga ratus juta untuk pembayaran hotel. Hotel ini dihitung lima puluh tiga hari dikali enam orang,” katanya.

Yang menjadi poin penting disini, tegas Yance, adalah pemberian uang itu diberikan setelah BPK mengekspos hasil temuan dan itu tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim.

“Karena kami yakin kalau majelis mempertimbangkan ini dalam pertimbangan hukumnya, maka putusannya bukan terpenuhi unsur. Melainkan putusannya adalah tidak terpenuhi unsur perbuatan itu. Oleh karena itu, setelah kami berkoordinasi dengan para terdakwa dan keluarganya, maka mereka memutuskan untuk melakukan banding. Dengan demikian dalam waktu dekat, kami akan kembali ke Manokwari untuk menyatakan banding dalam interval waktu tujuh hari dari kemarin,” pungkasnya.

Tidak hanya itu, Yance Salambauw selaku kuasa hukum juga menjelaskan bahwa penangkapan Yan Piet Mosso, Efer Segidifat dan Maniel Syafle oleh KPK tahun lalu sebetulnya bukan OTT.

“Penangkapan yang dilakukan oleh KPK kemarin bukan OTT, karena kalau OTT harusnya memenuhi kualifikasi sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 19,” ujarnya.

Kemudian pemberian uang dilakukan pada tanggal 13 Oktober, 30 Oktober dan 11 November atau 4 sampai 5 hari sebelum yang namanya entry meeting antara BPK dan Pemerintah Kabupaten Sorong.

Sementara penangkapan dilakukan pada tanggal 13 November, dalam hal ini ada interval 2 hari. Sehingga tindakan penangkapan yang dilakukan oleh KPK itu bukan OTT.

“Kami dalam kesimpulannya menegaskan bahwa seharusnya penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus ini dilakukan secara normal, untuk membuktikan apakah tindakan itu merupakan suap, gratifikasi atau pemerasan. Lalu kemudian dikenakan pasal sesuai dengan perbuatan mereka. Namun karena mereka melakukan OTT dari awal sebagai basis pemeriksaan, sehingga tidak bisa diarahkan kepada penyidikan atau tindak pidana lain kecuali hanya semata-mata karena suap. Karena OTT itu berkaitan dengan suap, tidak mungkin berkaitan dengan gratifikasi,” tegasnya.

Katanya mengapa demikian? Karena gratifikasi itu tidak serta-merta ditetapkan pada saat terjadi pemberian, dimana masih ada interval waktu 30 hari untuk melaporkan. Dehingga sifat melawan hukum dari suatu perbuatan gratifikasi berkaitan dengan pemberian uang atau apa saja, harus menunggu 30 hari dulu baru memenuhi unsur tentang gratifikasi itu.

“Jadi ini beberapa bagian yang kami sampaikan disamping bagian-bagian lain. Kalau kami melihat dari sisi dakwaannya jug, dapat kami katakan sepertinya orang di KPK tidak tahu menyusun dakwaan. Dimana mereka mendalilkan dalam dakwaan ada satu peristiwa yang sebetulnya sudah terjadi tanggal enam, tujuh dan delapan september berawal dari pertemuan yang dilakukan tanggal dua oktober. Jadi ini konstruksi yang terbalik dan tidak terbantahkan di persidangan karena rumusannya jelas. Kami bantah itu bahwa ini dakwaan yang tidak cermat, tapi ini diabaikan,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *