Pemilihan legislatif (Pileg) 2024 di tanah Papua umumnya dan Provinsi Papua Barat Daya khususnya terancam diulang. Hal ini disebabkan karena, jumlah calon anggota legislatif (caleg) orang asli papua (OAP) sangat minim.
Ketua Forum Pengawal Perjuangan Rakyat (Fopera) Provinsi Papua Barat Daya Amus Yanto Ijie mengatakan, dalam waktu dekat dirinya bersama dengan para tokoh yang tergabung dalam forum lintas suku asli Papua akan melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).
Menurut Yanto, Komisioner KPU RI dalam penyusunan PKPU mengabaikan daerah otonomi khusus yang ada di tanah papua, yang telah diatur melalui Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus.
“Oleh karenanya dalam pelaksanaan pileg, kami dari fopera, forum lintas suku dan juga tokoh masyarakat, kita akan melaporkan secara resmi Komisioner KPU RI ke DKPP,” ungkap Ketua Fopera PBD kepada awak media usai melakukan pertemuan dengan Komisioner KPU Provinsi Papua Barat Daya, yang berlangsung di Kantor KPU Papua Barat Daya, Selasa (30/1/2024).
Lanjut Yanto, dalil delik aduan yang akan diajukan yaitu pasal 28 ayat 3 dan 4 Undang-undang otonomi khusus dan pasal 18 UUD 1945.
Lebih lanjut kata Yanto, tujuan kedatangan Fopera bersama Forum Lintas Suku Asli Papua berkunjung ke Kantor KPU Provinsi Papua Barat Daya yaitu untuk menyampaikan aspirasi tentang eksistensi otonomi khusus di tanah Papua dalam menjaga hak-hak politik orang asli Papua.
Terutama hak politik di bidang legislatif, yaitu calon anggota DPR baik DPRD Kabupaten/Kota, DPR Provinsi, DPR RI dan juga DPD RI bahkan sampai pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan datang.
“Dalam aspirasi kami meminta agar dalam waktu yang singkat ini, KPU mengeluarkan PKPU khusus untuk pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah di tanah Papua,” tegasnya.
Menurut Yanto, pelaksanaan pemilu legislatif di tanah Papua dinilai cacat hukum. Hal ini dikarenakan pihaknya menilai, partai politik dan KPU RI telah melanggar pasal 28 ayat 3 dan 4 Undang-undang otonomi khusus.
“Seluruh caleg di tanah papua itu illegal, karena tidak ada persetujuan dan pertimbangan dari Majelis Rakyat Papua. Kemudian pemilu di tanah Papua berpotensi pemilu ulang, khusus pemilu legislatif. Karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 pasal 18 dan juga Undang-undang otonomi khusus pasal 28 ayat 3 dan 4,” bebernya.
Lanjut Ketua Fopera, dalam pertemuan dirinya menyampaikan aspirasi masyarakat yang memimta agar KPU RI menerbitkan PKPU khusus.
Katanya, ini merupakan solusi supaya caleg, partai dan juga negara tidak dirugikan karena sudah mengeluarkan uang yang begitu besar dan banyak untuk menyelenggarakan pemilu di tanah Papua.
“Kami tiga juta warga negara Republik Indonesia asli Papua yang juga punya hak konstitusional yang diatur dalam undang-undang otsus tidak meminta agar konstitusi ini dirubah, kami hanya minta untuk diterbitkan PKPU khusus untuk pelaksanaan pileg dan pilkada di tanah papua,” imbuhnya.
Dalam hal ini, kata Yanto, tidak ada kata terlambat untuk dikeluarkannya PKPU khusus bagi tanah Papua. Yang mana didalam PKPU khusus itu harus mengatur tentang persentase kursi DPR di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
“Tadi kami juga sudah memberikan solusi agar dalam PKPU itu harus memberikan persentase kursi DPR di tingkat kabupaten, kota dan provinsi. Untuk kabupaten, kota dan provinsi yang jumlah penduduk orang asli papua di bawah lima puluh persen, diberikan kuota kursi legislatif tujuh puluh persen orang asli papua. Sedangkan untuk kursi DPR RI dan DPD RI delapan puluh persen,” tandasnya.
Selain itu, kata Yanto, seharusnya DPR RI dan DPD RI harusnya orang asli papua. Karena namanya Dewan Perwakilan Daerah.
“Tetapi hari ini sebagai warga negara kita menghargai dan menghormati kemajemukan yang ada disini, tetapi untuk kami orang asli papua kami minta untuk ada kuota delapan puluh persen di DPR RI,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua KPU Provinsi Papua Barat Daya Andarias Daniel Kambu menyatakan, pada prinsipnya KPU tetap berjalan sesuai dengan tahapan-tahapan pemilu yang ada dan tidak bisa ditunda-tunda.
“Pemilu bisa ditunda karena alasan bencana alam, peperangan dan lain-lain. Sepanjang tidak ada itu, tahapan tetap jalan,” ungkapnya.
Sehubungan dengan adanya permintaan untuk diterbitkannya PKPU khusus pada pileg di tanah Papua, Ketua KPU PBD menegaskan, itu merupakan hak masing-masing warga negara.
Meskipun demikian, kata Andi Kambu, ada lembaga-lembaga hukum yang berkompeten yang bisa melakukan itu.
“Kami menerima aspirasi dan akan disampaikan ke KPU RI. Kami dibawah hanya pelaksana regulasi saja dan tidak punya kewenangan untuk merubah kebijakan ataupun menghasilkan regulasi. Karena kewenangan itu ada di KPU RI,” pungkasnya.