Wakil Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, Kementerian Hukum dan HAM memerlukan waktu selama 3 tahun untuk melakukan sosialisasi terkait Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang disahkan pada tanggal 6 Desember 2022 dan telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
“Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional disahkan pada tanggal 6 Desember 2022 dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Ini adalah suatu proses panjang yang memakan waktu 64 tahun sejak inisiasi dari tahun 1958. Mengapa kita membutuhkan waktu tiga tahun untuk sosialisasi, tidak lain dan tidak bukan karena KUHP Nasional merubah paradigma hukum pidana kita semua,” ungkap Wamenkumham Republik Indonesia dalam Kumham Goes to Campus di Universitas Victory Sorong, Papua Barat Daya, Kamis (10/8/2023).
Dikatakan Edward, dalam proses pembentukan KUHP Nasional, Kumham selalu mendengar berbagai aspirasi masyarakat dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote.
“Inilah yang bisa kita hadirkan kepada masyarakat Indonesia. KUHP Nasional merubah maindset, merubah pola pikir aparat penegak hukum, pola pikir saya, pola pikir bapak ibu bahkan pola pikir seluruh masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Jika semua menjadi korban dari suatu kejahatan, katanya, maka yang ada di dalam benak yaitu agar pelakunya itu sesegera mungkin ditangkap, ditahan dan dihukum seberat-beratnya.
“Artinya kita semua masih mengedepankan hukum pidana sebagai sarana balas dendam. Namun dengan KUHP nasional ini tidak lagi mengedepankan hukum pidana sebagai sarana balas dendam dan tidak lagi mengedepankan hukum pidana pada keadilan pembalasan. Tetapi telah merubah paradigma hukum pidana menjadi keadilan korektif, keadilan restorasi dan keadilan rehabilitatif. Janganlah berharap dengan KUHP baru ini lalu sedikit-sedikit orang di penjara, sudah tidak lagi,” imbuhnya.
Lebih lanjut dikatakan Wamenkumham, KUHP nasional yang baru disahkan menghindari pengenaan penjara dalam waktu singkat, karena itu ada modifikasi alternatif pidana. Kalau ancaman pidana itu tidak lebih dari 5 tahun, maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara, melainkan pidana pengawasan.
Kemudian jika ancaman pidana tidak lebih dari 3 tahun, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara melainkan pidana kerja sosial.
“Baik pidana pengawasan maupun pidana kerja sosial, diatur secara ketat dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Artinya meskipun pidana penjara masih merupakan pidana pokok, tapi sedapat mungkin tidak dijatuhkan. Jadi ada pidana yang lebih ringan yaitu pidana pengawasan, pidana kerja sosial maupun pidana denda. Ini sekaligus menjawab tantangan bagi Kementerian Hukum dan HAM, untuk mengatasi over kapasitas di lembaga pemasyarakatan,” tegasnya.
Misi dari KUHP Nasional, sambungnya, adalah demokratisasi, dekolonisasi, harmonisasi, konsolidasi dan modernisasi.
“Mengapa kita membutuhkan waktu tiga tahun untuk masa peralihan, agar seluruh aparat penegak hukum memiliki frekuensi, ukuran dan standar yang sama dalam menerapkan KUHP Nasional. Dalam waktu tiga tahun ini kami pemerintah dan DPR membentuk sejumlah peraturan pelaksana dari KUHP nasional, baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam bentuk peraturan pemerintah,” tegasnya.
Kata Edward, satu keunggulan di dalam KUHP Nasional yaitu tidak lagi berorientasi pada kepastian hukum semata, tetapi juga kemanfaatan dan keadilan. Bahkan disitu dikatakan bahwa jika dalam menghadiri perkara ada pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.
Dalam konteks keadilan inilah diperkenalkan atau diakui keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang hidup dalam masyarakat ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghidupkan pranata hukum adat yang sudah mati, tetapi mengakomodasi pranata hukum adat yang masih berlangsung sampai saat ini.
“Saya yakin dan percaya bahwa di tanah papua ini keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat sampai saat ini masih berlaku,” bebernya.
Ditmabahkannya, Undang-undang khusus dalam konteks revisi otsus papua kalau dalam doktrin hukum dikenal dengan istilah lekspesialis sistematis atau undang-undang yang lebih khusus lagi. Ini sama kedudukannya dengan Undang-undang Nanggroe Aceh Darussalam.
“Dengan keberadaan undang-undang otsus papua meskipun dia pada level undang-undang, tetapi karena secara doktrin dia lekspesialis sistematis, maka dia punya keunggulan tersendiri di dalam implementasinya,” pungkasnya.