PT BPR Arfindo dalam waktu dekat akan melaporkan pimpinan PT Jaya Molek Perkasa dan salah satu pejabat notaris yang ada di Kota Sorong, ke pihak Kepolisian.
Laporan polisi yang akan dilayangkan tersebut, lantaran PT BPR Arfindo merasa dirugikan oleh apa yang dilakukan oleh pimpinan PT Jaya Molek Perkasa, Bank Papua dan salah satu pejabat notaris yang ada di Kota Sorong.
Direktur Operasional PT BPR Arfak Indonesia Anthoneta Kopong menceritakan, persoalan ini brawal dari kredit sebesar Rp 5 miliar yang diajukan oleh PT Jaya Molek Perkasa melalui Bank Arfindo dengan agunan jaminan sertifikat tanah. Dimana dengan berjalannya waktu, kredit PT Jaya Molek Perkasa macet ditengah jalan.
“Awalnya PT Jaya Molek Perkasa menjaminkan sertifikat induk, untuk memperoleh pinjaman sebesar lima miliar di Bank Arfindo. Sertifikat induk itu kemudian dipecah di Notaris atas nama Ibu Tiur. Kemudian kami order kesana dan keluarlah surat keterangan, dimana surat keterangan itu pemecahannya sebanyak 111 sertifikat, dimana 71 sertifikat milik PT BPR Arfindo dan sisanya kami tidak tahu milik siapa,” ungkap Anthoneta kepada awak media, Senin (17/4).
Dikatakannya, saat itu 71 sertifikat langsung diambil karena itu milik jaminan PT BPR Arfindo. Tapi tahun 2022 lalu, sambungnya, PT BPR Arfindo menerima surat dari Notaris yang menyatakan bahwa 71 sertifikat itu merupakan pinjaman PT BPR Arfindo dan diminta untuk dikembalikan.
“Kami balas surat tersebut yang isinya bahwa sertifikat tersebut milik jaminan kami, dengan cover load kami kasih bukti ke notaris bahwa benar 71 sertifikat bukan pinjaman dan ini adalah jaminan kami dengan perjanjian kredit. Selain itu, Bank Papua juga menyurati kami dan meminta 29 sertifikat yang merupakan jaminan mereka yang katanya ada di kami (Bank Arfindo), untuk dikembalikan. Kami kemudian balas surat dengan dokumen-dokumen pendukung yang menyatakan bahwa 29 sertifikat itu adalah milik kami,” ujarnya.
Terkait persoalan ini, kata Direktur Operasional PT BPR Arfindo, sebenarnya sudah ada koordinasi dan negosiasi dengan pihak-pihak tersebut. Akan tetapi sampai sekarang tidak ada respon dan tindak lanjut.
“Komunikasi seolah ini terus berjalan baik dengan PT Jaya Molek Perkasa maupun dengan Bank Papua. Tapi tidak ada tindak lanjut dan itikat baik dari mereka, makanya kami merasa sudah cukup,” tegasnya.
Ditambahkannya, PT Jaya Molek Perkasa melakukan kredit tanah kavling dengan jaminan sertifikat induk ke PT BPR Arfindo. Dimana tujuan penyediaan kavling, untuk pembangunan.
“Diatas tanah kavling tersebut sudah ada bangunan perumahan subsidi, dimana para konsumen dari PT Jaya Molek ini melakukan akad kredit perumahannya di Bank Papua. Tapi berjalannya waktu, setelah akad mereka tidak memberitahukan ke kita. Harusnya setelah akad di Bank Papua mereka melunasi tanah kavling di kita, tapi ini mereka tidak beritahu ke kami kalau konsumennya sudah akad. Masalah ini sudah terlalu lama yakni hampir dua tahun dan kreditnya macet juga sudah terlalu lama, sehingga uang kami tidak bisa berputar karena kredit macet tertahan di PT Jaya Molek Perkasa. Padahal kami sudah terus berkoordinasi dengan manajemen PT Jaya Molek Perkasa tapi tidak ada kejelasan sampai sekarang,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Tim Kuasa Hukum PT BPR Arfindo Hiras Lumban Tobing, SH, MH mengatakan, pihaknya akan melakukan upaya hukum baik pidana maupun perdata atas kasus ini.
“Kami akan memilah terlebih dahulu, apakah pidananya yang nanti akan kita ajukan dulu atau perdata. Hari ini sudah terbukti bahwa manajemen Bank Papua menganggap kita tidak penting, sehingga kami mungkin akan melakukan upaya hukum baik melalui pidana maupun perdata,” bebernya.
Lanjut Hiras, setelah mempelajari kasusnya, dirinya melihat ada kejanggalan dalam persoalan ini. Yaitu diantaranya secara tidak sah dan melawan hukum telah berdiri bangunan di atas kavling tanah pada PT BPR Arfindo Cabang Aimas berdasarkan SHGB tersebut di atas yang dijadikan agunan kredit.
Kemudian ada pihak yang secara sengaja dan terencana patut diduga telah melakukan tipu daya yang secara tidak sah menjual berupa tanah dan bangunan diatas kavling tanah dan atas hak SHGB No 765 sampai dengan No 777, SHGB No 802 sampai dengan 817.
Selain itu, ada kantor notaris yang secara sadar, sengaja, terencana dan patut diduga telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat notaris turut serta melakukan patut diduga melalui tindak pada pasal 378 jo pasal 372 jo pasal 374.
“Disini kami melihat ada pihak yang secara ceroboh dan melanggar prinsip kehati-hatian telah menyalurkan pembiayaan untuk pembangunan rumah di atas kavling tanah milik PT BPR Arfindo. Bagaimana mungkin kredit bisa dicairkan oleh Bank Papua, sementara agunan ada di PT BPR Arfindo. Ini pasti ada perbuatan melawan hukum disana, apalagi SOPnya bank umum ada aturannya dan itu sangat ketat. Disini saya melihat Bank Papua menyepelekan permasalahan ini, karena sudah hampir dua tahun dilakukan pertemuan tapi ternyata tidak ada niat baik. Padahal sesama perbankan, kita mengedepankan komunikasi persuasif,” pungkasnya.