Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Raja Ampat Yusuf Salim angkat bicara, menanggapi pernyataan Ketua Fraksi Demokrat DPRK Raja Ampat Soleman Dimara yang juga menjabat Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPRK.
Dalam hal ini, Sekda dengan tegas membantah tuduhan yang dilayangkan Pansus DPRK.
Menurut Yusuf, selama ini pihaknya diam bukan karena takut. Melainkan demi menjaga suasana pemerintahan tetap kondusif.
“Sebenarnya kami tidak ingin berbalas pantun di media. Kami sengaja diam agar teman-teman di DPRK memahami bahwa memang benar DPR memiliki fungsi pengawasan, tetapi tentu bukan dengan cara yang keliru,” ujar Sekda Raja Ampat kepada awak media, Sabtu (24/5/2025).
Ia menegaskan, pembahasan LKPJ (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban) seharusnya berfokus pada capaian kinerja program dan kegiatan, bukan malah menyerupai pembahasan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD).
“Yang dibahas dalam LKPJ adalah capaian program dan kegiatan. Tapi yang terjadi, Pansus seolah sedang membahas LKPD. Kami diam bukan karena tidak tahu, tapi agar tidak menimbulkan kegaduhan di publik,” ungkapnya.
Terkait pernyataan Ketua Pansus yang menyebut TAPD menyusun APBD “sesuai jidat”, dinilai Sekda sebagai pernyataan yang tidak beretika.
“Saya minta Ketua Pansus saudara Soleman Dimara, tolong jaga etika. DPR itu lembaga terhormat, jangan asal ngomong bilang Sekda dan Tim TAPD menyusun sesuai jidat. Dia paham gak? Bahwa LKPJ yang dibahas saat ini adalah LKPJ pemerintahan sebelumnya. Saat itu Sekda betul-betul dikebiri. Tidak dilibatkan. Dia paham gak? Kalau dia tidak tahu, dia jangan asal bunyi,” tegasnya.
Sekda juga mengungkapkan, dalam proses penyusunan anggaran, TAPD seringkali baru dilibatkan setelah adanya revisi hasil pembahasan bersama DPRK. Ia menilai, pernyataan yang menyulut opini publik secara negatif tidak mencerminkan sikap dewasa dalam bernegara.
“Sekarang mereka bilang mau keluarkan mosi tidak percaya? Saya ulangi, LKPJ ini milik pemerintahan sebelumnya. Jangan asal bunyi kalau tidak paham,” lanjutnya.
Lebih jauh, ia menyoroti metode pembahasan LKPJ yang dinilainya menyimpang dari regulasi. Seperti pemanggilan bendahara OPD untuk dimintai penjelasan soal nominal anggaran, padahal yang dibutuhkan adalah evaluasi kinerja.
“Saya baru pertama kali lihat pembahasan LKPJ yang sampai memanggil bendahara dan menanyakan angka-angka anggaran,” imbuhnya.
Padahal dalam Pasal 20 Ayat 1 PP Nomor 13 Tahun 2019, sambungnya, jelas bahwa yang dibahas adalah kinerja, bukan rincian keuangan.
Sekdapun menegaskan, pihaknya siap jika persoalan ini dibawa ke aparat penegak hukum.
“Silakan kalau mau bawa ke APH, biar jelas siapa yang rampok APBD Raja Ampat. Kami bekerja berdasarkan aturan, bukan suka-suka,” tegasnya.
Selain itu, terkait permintaan fraksi DPRK terkait salinan DPA Perkada, Sekda menilai bahwa semestinya permintaan disampaikan secara resmi melalui surat, bukan melalui media.
“Kalau memang ingin meminta dokumen, silakan bersurat resmi. Jangan minta lewat media. Sampai hari ini saya belum terima surat apapun soal itu,” tandasnya.
Kemudian soal keterbatasan akses akun SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah) yang hanya diberikan kepada pejabat teknis di perangkat daerah, kata Sekda, itu sesuai Permendagri Nomor 70 Tahun 2019 dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020.
“SIPD itu sistem yang diatur pusat. Aksesnya hanya untuk perangkat daerah tertentu, sesuai ketentuan,” tambahnya.
Meski demikian, ia memastikan bahwa Pemerintah Kabupaten Raja Ampat tetap berkomitmen pada prinsip transparansi dan akuntabilitas. Ia pun menyayangkan jika kritik yang disampaikan justru bernuansa sentimen terhadap OPD tertentu.
“Tudingan terhadap Sekretariat Daerah seolah didasari kebencian pribadi. Padahal semua yang kami lakukan bisa ditelusuri dari dokumen pandangan akhir fraksi-fraksi saat pembahasan APBD-P 2024. Silakan baca isinya,” ujarnya.
Ditambahkannya, padahal ada OPD lain yang perubahanannya fantastis naikknya, coba dibandingkan pula alokasi anggaran tahun 2023 dengan 2024, jauh berbeda di Setda, jika orang paham pasti timbul pertanyaan mengapa seperti itu.
“Tapi sudahlan kita mau berdebat seperti apapun jika targetnya adalah mendiskreditkan opd tertentu, maka penjelasan apapun tidak akan akan bisa diterima dan sampai saat ini Tim TAPD belum diajak untuk RDP, namun sudah simpulkan,” tandasnya.
Dikatakannya, penyidik APH saja bila hanya dalam batas klarifikasi tidak langsung menyimpulkan.
Kata Sekda, DPRK bukan penyidik atau pemeriksa, karena untuk jadi penyidik dan pemeriksa melalui pendidikan formal yang ketat karena dilatih dengan pelatihan khusus, baru saja dapat jawaban klarifikasi langsung menyimpulkan.
“Apa perlu saya harus paparkan secara detail nominal berapa yang harus disetor dari tahun ke tahun? Sekali lagi, gunakanlah kewenangan secara proporsional jangan melampaui kewenangan bahkan seperti hakim yang langsung menvonis,” pungkasnya.