Ketua Forum Pengawal Perjuangan Rakyat (Fopera) Provinsi Papua Barat Daya Amus Yanto Ijie mengatakan, pelaksanaan otsus jilid 2 masih terkesan ibarat kepala dilepas tapi ekor dipegang.
“Maksudnya kewenangan yang diberikan melalui otonomi khusus oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah di tanah Papua, belum sepenuhnya diserahkan dan masih dikendalikan oleh pemerintah pusat,” ungkap Yanto Ijie kepada awak media, Kamis (5/12/2024).
Lanjut Yanto, harus dipahami bahwa dalam Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) ada kewenangan absolut yang hanya boleh dikendalikan oleh Pemerintah Pusat. Yaitu kewenangan bidang peradilan, bidang agama, bidang hubungan luar negeri, bidang pertahanan keamanan dan kewenangan di bidang moneter.
Kewenangan tersebut, katanya, yang melekat dan langsung diurus oleh pemerintah pusat. Diluar dari itu, kewenangannya semua ada di Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten dan Kota.
“Hari ini anak-anak kita Papua menduduki Kantor Gubernur. Mereka menyuarakan tentang hak hidup mereka di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui otonomi khusus, terutama para pencaker kita ini sebenarnya harus mendapat respon positif dari pemerintah pusat,” bebernya.
Yanto membeberkan, dalam pasal 27 Undang-undang Otonomi Khusus sudah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten dan Kota di seluruh tanah Papua, untuk mengatur manajemen ASN Kepegawaian di masing-masing provinsi di tanah Papua sesuai dengan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 junto Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang otonomi khusus di tanah Papua.
“Hari ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam kabinet merah putih telah melakukan pelecehan dan pelanggaran mal administrasi kepada orang asli Papua, yang saat ini menuntut hak mereka melalui Undang-undang otonomi khusus,” tegasnya.
Seharusnya seleksi CPNS, kata Yanto, keputusannya tanpa harus melalui Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat hanya memberikan kuota kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Daerah yang melaksanakan seleksi secara terbuka.
“Ini untuk menghindari ada penyusun-penyusup yang masuk di dalam kolom orang asli Papua dan ini sebenarnya tidak boleh terjadi,” imbuhnya.
Lanjut Ketua Fopera PBD, memang hari ini jika dilihat definisi Orang Asli Papua masih multi tafsir. Yaitu bapak dan mama Papua, bapak Papua dan mama non Papua, mama Papua dan bapak non Papua. Tetapi juga ada orang yang diterima dan diakui.
“Hari ini anak-anak Papua yang demo, karena mereka merasa bahwa hak-hak mereka yang diatur dalam Undang-undang otonomi khusus terkait dengan rekrutmen CPNS yang harusnya orang Papua tapi diisi oleh orang-orang non Papua,” ucap Yanto.
Terkait persoalan itu, kata Yanto, MRP dan lembaga-lembaga masyarakat adat yang mengeluarkan surat rekomendasi OAP harus memberikan pernyataan terkait dengan surat-surat yang mereka telah keluarkan.
“Jangan sampai mereka yang lulus ini juga mungkin adalah bagian dari orang-orang Papua, tetapi tidak terekspos. Ini masih asas praduga tak bersalah, karena kita harus membuktikan data yang valid,” tambahnya.
“Fopera pada prinsipnya memberikan support kepada adik-adik kita yang hari ini demo, kita mendukung mereka tetapi juga dalam demo ini tidak boleh mengabaikan saudara-saudara kita anak-anak kita Papua yang sudah lulus. Kita harus memberikan ruang kepada mereka untuk lanjut ke tahap berikut,” imbuhnya.
Sementara itu, terkait dengan kuota CPNS 80 persen untuk OAP dan 20 persen untuk non OAP sudah dikunci melalui PP 106 tahun 2021.
“Kita juga mendapat laporan lapangan, bahwa hari ini ada beberapa formasi yang tadinya untuk orang Papua tapi tidak ada pelamar orang Papua. Ini juga pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus segera mencari solusi, untuk mengalihkan ke formasi lain dan membuka itu kepada anak-anak Papua untuk mendaftar,” harapnya.
Terpenting dari ini, kata Yanto, Fopera Provinsi Papua Barat Daya melihat Menteri PAN-RB tidak jeli melihat situasi daerah dan tidak menghormati pejabat-pejabat daerah seperti Pj Gubernur, para bupati, walikota dan para senator yang sudah datang menyampaikan aspirasi masyarakat terkait dengan keadaan di daerah khususnya rekrutmen formasi CPNS.
“Harusnya ditindaklanjuti dan disikapi dengan serius, bukannya kemudian pemerintah pusat melempar bola ke daerah. Nanti akhirnya kita dengan kita di daerah sendiri yang baku hantam, padahal kita sudah melakukan upaya. Oleh karenanya, kami juga menyarankan kepada bapak Presiden untuk mengevaluasi Menpan RB, agar lebih jeli melihat otonomi khusus di tanah Papua sebagai satu kebutuhan utama kebutuhan dan terpenting bagi orang Papua. Hal ini dalam rangka pemberdayaan anak-anak Papua untuk mendapatkan kesempatan menjadi calon pegawai negeri sipil di daerah,” pungkasnya.