Penjabat Gubernur Papua Barat Daya Mohammad Musa’ad menyampaikan keluh kesah kepada Wakil Ketua dan Anggota Komite IV DPD RI.
Keluh kesah tersebut disampaikan Musa’ad dalam kunjungan kerja Komite IV DPD RI ke Kota Sorong, Papua Barat Daya, Senin (10/2/2025).
Dikatakan Musa’ad, sebagai pintu gerbang ke tanah Papua, Provinsi Papua Barat Daya sebenarnya memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa. Diantaranya berupa minyak, gas, nikel, batubara, ikan dan potensi pariwisata.
Sekarang bahkan banyak investor yang tergiur dengan karbon dan banyak yang sudah mengajukan permohonan rekomendasi, untuk mengembangkan karbon di Papua Barat Daya.
Meskipun memiliki potensi sumber daya alam yang banyak, kata Pj Gubernur PBD, namun royalti yang diterima sangat kecil. Hal ini disebabkan karena sumber daya alam yang ada disini tidak dikelola atau diproduksi disini, melainkan di produksi diluar Papua Barat Daya.
“Yang selama ini menjadi hambatan kami yaitu kita punya potensi, tetapi produksinya tidak disini. Ikannya ikan Papua Barat Daya, tetapi ketika diekspor dari Makassar, Surabaya dan Jakarta maka namanya ikan Makassar, Surabaya dan Jakarta. Jadi tidak ada label ikan dari Papua Barat Daya,” ujarnya.
“Kemudian kita punya nikel disini dengan kualitas yang bagus. Tapi karena dibawa ke Weda untuk diolah disana, lalu kemudian dikirim dari Weda, berarti Weda yang dapat royalti bukan kita Papua Barat Daya yang dapat. Kita dapat royalti yang kecil-kecil itu saja,” imbuh Pj Gubernur PBD.
Oleh karena itu, kata Musa’ad, dirinya berharap harus ada tempat produksi atau pusat-pusat industri baru di Provinsi Papua Barat Daya, untuk bisa mengolah sendiri sumber daya yang ada.
“Sebenarnya kawasan ekonomi khusus yang ada perlu didorong, hanya selama ini kita yang pontang-panting cari investor. Padahal kita disini terkendala infrastruktur. Harusnya Pemerintah Pusat membantu mencarikan investor untuk mau berinvestasi disini,” bebernya.
Diakui Pj Gubernur PBD, minimnya investasi dan penerimaan yang diperoleh Provinsi Papua Barat Daya sebagai Daerah Otonom Baru (DOB), membuat Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya hanya bisa bergantung dari Pusat.
“Pendapatan kita tergantung dari pusat. Ini kalau tidak kita rubah, saya khawatir nanti kedepan akan tambah menurun APBDnya. Pertama provinsi ini dibentuk APBDnya sebesar dua koma tujuh triliun, tahun kedua turun menjadi satu koma sembilan triliun. Tahun ketiga turun lagi menjadi satu koma tujuh triliun dikurangi lagi dua ratus sekian jadi sisa satu koma empat triliun,” ungkap Pj Gubernur Musa’ad.
Hal ini, sambungnya, agak kontradiktif dengan semangat percepatan sesuai dengan Perpres Percepatan Papua.
“Kalau APBD terus turun, maka bagaimana kita mau melakukan percepatan kalau sumber pendanaannya terbatas. Ini kalau kesah kami, karena kami yakin pimpinan dan anggota DPD RI merupakan perpanjangan tangan utamanya daerah. Jadi keluh kesah kami ini yang disampaikan kami harap bisa ditindaklanjuti,” keluh Pj Gubernur PBD.
Musa’ad juga menyampaikan, sampai sekarang tidak ada aturan khusus tentang DOB. Oleh karena itu, meskipun DOB, tapi regulasi yang digunakan adalah regulasi umum.
“Jadi sulit kita untuk bagaimana menata daerah baru dengan regulasi umum, karena tidak ada treatment khusus untuk daerah otonom baru,” tegasnya.