Praktisi Hukum di Papua Barat Daya Jatir Yuda Marau mengatakan, KPU dan Bawaslu adalah penyelenggara Pemilu dan bukan majelis hakim pengadilan yang menentukan salah dan benar Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Rakyat Papua Barat Daya.
“KPU Papua Barat Daya bukan lembaga peradilan, tetapi penyelenggara pemilukada,” ungkap Yuda melalui keterangan pers yang diterima BalleoNews, Jumat (20/9/2024).
Yuda menilai, KPU Papua Barat Daya telah mengadili Surat Keputusan MRP Papua Barat Daya Nomor 10/MRP.PBD/2-2024.
Menurutnya, pada tanggal 14 September 2024, KPU Papua Barat Daya telah mengeluarkan pengumuman untuk mendapatkan tanggapan masyarakat atas 5 (lima) bakal calon Gubernur-Wakil Gubernur Papua Barat Daya yang dinyatakan memenuhi syarat.
Dalam pengumuman itu, sambungnya, KPU lebih mengkhususkan perhatian terhadap salah satu pasangan bakal calon Gubernur-Wakil Gubernur yang tidak mendapatkan persetujuan hasil rapat pleno luar biasa yang digelar Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat Daya.
“Disini kita lihat KPU melakukan tindakan sebagai lembaga peradilan, dengan turun menguji verifikasi faktual yang telah dilakukan oleh MRP PBD,” ujarnya.
Selain itu, kata Yuda, dalam pengumuman KPU PBD juga menyampaikan bersama Bawaslu dan pihak terkait akan melakukan penulusuran, pendalaman dan verifikasi faktual terhadap pengakuan Lembaga Masyarakat Adat Ambel Waigeo Raja Ampat dan Keputusan MRP No.10/MRP.PBD/2-2024 Tanggal 22 September 2024.
“Maka itu saya perlu ingatkan kepada KPU PBD untuk tidak menjadi lembaga pengadilan, yang kemudian bertindak mengadili sendiri Surat Keputusan MRP No.10/MRP.PBD/2-2024 Tanggal 22 September 2024 yang tidak memberikan persetujuan terhadap 1 dari 5 pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur Papua Barat Daya, yang tidak mendapatkan persetujuan dari MRP PBD tentang keaslian sebagai Orang Asli Papua,” kata Yuda.
KPU PBD sebagai penyelenggara pemilukada, lanjutnya, harus taat dan tunduk pada koridor hukum dan lebih khusus lagi terhadap UU Otsus dan Peraturan KPUnya sendiri yaitu PKPU No. 10 Tahun 2024 tentang perubahan atas PKPU nomor 8 Tahun 2024 sebagaimana telah diatur untuk PEMLIHAN DI DAERAH KHUSUS dalam Pasal 138 ayat (1) dan (2).
Dalam PKPU atas perubahan PKPU nomor 8/2024 disebutkan pada ayat (1) Pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota pada daerah khusus dan/atau istimewa atau dengan sebutan lain, diberlakukan ketentuan dalam peraturan komisi ini, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang- undangan.
Kemudian ayat (2) menyebutkan daerah khusus dan atau daerah istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi daerah yang berdasarkan kekhususannya atau keistimewaannya diatur dengan undang-undang.
Kemudian lanjut dia, dalam Pasal 140 PKPU Nomor 8 Tahun 2024 disebutkan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua Pegunungan, Provinsi Papua Tengah Provinsi Papua Selatan dan Provinsi Papua Barat Daya memperoleh pertimbangan dan persetujuan dari Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat, Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Pegunungan, Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Tengah, Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Selatan dan Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat Daya.
“Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah jika KPU PBD bersama pihak terkait melakukan penulusuran, pendalaman dan verifikasi faktual terhadap pengakuan Lembaga Masyarakat Adat Ambel Waigeo Raja Ampat dan Keputusan MRP No.10/MRP.PBD/2-2024 Tanggal 22 September 2024. Kemudian KPU PBD menilai lain atas status paslon yang tidak mendapatkan persetujuan dari MRP PBD dan menetapkan paslon tersebut sebagai peserta pemilukada di PBD. Bagaimana dengan ketentuan dalam UU Otsus dan ketentuan dalam PKPU sendiri yang menyatakan calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Provinsi Papua Barat Daya memperoleh pertimbangan dan persetujuan dari Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat Daya,” kata Yuda.
“Menurut kami KPU telah bertindak melampaui kewenangannya dan sewenang-wenang, karena mengeluarkan sendiri pertimbangan dan persetujuan bagi paslon cagub dan cawagub di Provinsi Papua Barat Daya. Yang bukan menjadi kewenangannya,” ucap Yuda.
KPU sebagai regulator hanya menjalankan apa yang telah tertuang dalam PKPU, bukan mencari petimbangan dari putusan MK yang belum dituangkan menjadi UU Otsus dan PKPU.
“Itu namanya KPU tegak lurus, bukan berpegang pada surat dinas,” katanya.
Yuda tegaskan, KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pilkada tidak diberikan kewenangan sedikitpun untuk menguji keabsahan Surat Keputusan Majelis Rakyat Papua Barat Daya.
“KPU dan Bawaslu Papua Barat Daya tidak diberikan kewenangan untuk mengadili tentang keabsahan Surat Keputusan MRPBD. Jika KPU PBD mengatakan mereka berwenang tolong sampaikan ke publik di atur dalam peraturan-perundangan mana KPU berwenang memberikan pertimbangan dan persetujuan bagi calon Gubernur dan Wakil Gubernur dI Provinsi Papua Barat Daya memperoleh pertimbangan dan persetujuan dari Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat Daya. Dan dapat menilai keabsahaan Keputusan MRPBD,” kata Yuda menegaskan.
Ditambahkan Yuda, KPU tidak boleh menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi hanya dengan berdasarkan Surat Dinas KPU RI pada Point 10 yang di sebutkan “Dalam Hal Pertimbangan Majelis Rakyat Papua (MRP) menyatakan calon tidak memenuhi persyaratan orang asli papua, KPU Provinsi menyatakan persyaratan Orang Asli Papua memenuhi syarat apabila terdapat pertimbangan dan/atau pengakuan suku asli di Papua yang menyatakan penerimaan dan pengakuan atas nama calon dengan memedomani Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 29/PUU-IX/2011, Surat dinas KPU RI tersebut. Jika KPU PBD menjadikan dasar Surat dinas untuk mengesampingkan Keputusan MRP, maka KPU PBD telah beruba menjadi Lembaga Pengadilan yang menganulir Keputusan MRP, padahal di ketahui bersama Keputusan MRP sedang di Gugat di PTUN Jayapura.
Yuda menambahkan, bagaimana mungkin Surat Dinas KPU tersebut bertentangan dengan Peraturan KPU sendiri yaitu PKPU No 8 Tahun 2024, Kenapa Redaksi pada point 10 Surat Dinas KPU tersebut tidak di atur dalam bentuk Peraturan KPU, sehingga mengikat dan jika ada pihak yang keberatan atas Peraturan KPU tersebut dapat mengajukan upaya hukum dengan adanya peraturan KPU yang demikian? sebagaimana terbit PKPU 10 Tahun 2024 sebagai wujud dilakukannya penyesuaian atas adanya Putusan MK Nomor : 60/PUU-XXII/2024.
“Ingat Surat Dinas KPU tidak ada dalam sistem hirarki tata urutan perundang-undangan, sehingga tidak boleh bertentangan dengan Peraturan KPUnya sendiri dan Ketentuan yang telah jelas diatur dalam undang-undang. Kami sebagai praktisi hukum sangat sesalkan adanya pernyataan KPU yang seolah-olah menyederhanakan persoalan dan menyatakanya kalau ada pihak yang tidak puas dengan keputusan ini silahkan ajukan gugatan MK, PTUN namun disisi lain KPU PBD sendiri tidak menghargai adanya gugatan yang sedang digugat ke PTUN Jayapura,” tutup Yuda. (*)