Raja Ampat — Polemik dugaan penyanderaan speedboat milik wisatawan asal Austria di kawasan Wayag, Raja Ampat, memasuki babak baru setelah masyarakat adat Suku Kawei mengeluarkan bantahan tegas atas pernyataan polisi dan wisatawan asing bernama Andreas. Mereka menyatakan, tidak pernah terjadi penculikan maupun penyanderaan.
Tokoh pemuda Suku Kawei, Luther Ayelo, dalam pernyataan resminya pada Selasa (18/11/2025) malam, menegaskan bahwa tuduhan yang beredar merupakan kekeliruan serius dan telah menyesatkan opini publik.
“Tidak pernah ada tindakan penculikan sebagaimana dituduhkan,” tegasnya.
Menurut Luther, pemberitaan media telah membangun opini yang merugikan dan mencoreng martabat masyarakat adat. Ia menjelaskan bahwa tindakan masyarakat bukanlah perbuatan kriminal, melainkan bagian dari penegakan aturan adat yang telah tertuang dalam Surat Edaran Suku Kawei tertanggal 10 Juni 2025.
Aturan tersebut mencakup penyitaan sementara sarana transportasi, serta pemberlakuan denda adat bagi pihak yang melanggar larangan di wilayah hak ulayat Kawei.
Luther menegaskan, Papua memiliki kekhususan adat dan otonomi khusus, sehingga setiap orang termasuk aparat negara wajib menghormati mekanisme hukum adat.
Selain itu, Suku Kawei turut menyoroti surat edaran dan imbauan penutupan kawasan Wayag oleh Dinas Pariwisata Raja Ampat pada 13 Juni 2025. Kawasan tersebut telah ditutup sementara untuk kegiatan wisata.
Karena itu, setiap pihak yang memasuki Wayag tanpa izin dinilai melanggar ketentuan adat dan aturan resmi pemerintah daerah.
Menurut masyarakat adat, pelanggaran terhadap penutupan resmi tidak dapat dianggap sepele, terlebih jika dilakukan wisatawan asing tanpa menghormati aturan lokal.
Suku Kawei juga menilai pernyataan Kasat Reskrim Polres Raja Ampat kepada publik tidak sesuai hasil koordinasi, serta cenderung memojokkan masyarakat adat.
Aparat, menurut mereka, seharusnya mengedepankan komunikasi profesional sebelum memberi keterangan yang berkaitan dengan wilayah adat yang memiliki struktur hukum tersendiri.
Mereka mendesak Kapolda dan Wakapolda Papua Barat Daya untuk melakukan evaluasi khusus terhadap Kasat Reskrim Polres Raja Ampat, serta meminta klarifikasi resmi dari kepolisian guna memulihkan kepercayaan masyarakat adat.
Bantahan juga disampaikan saksi mata, Ponce da Lopez, yang menegaskan bahwa seluruh tuduhan penyanderaan speedboat adalah tidak benar.
“Berita-berita yang beredar di sejumlah media itu tidak benar. Hal-hal yang dituduhkan kepada masyarakat juga tidak benar,” ujarnya.
Ia menegaskan, speedboat hanya dikawal menuju masyarakat adat karena adanya dugaan pelanggaran aturan adat, dan pemindahan itu dilakukan dengan persetujuan pemiliknya.
“Tidak ada penyanderaan dan penyitaan barang-barang milik wisata atau pemilik speedboat,” tegasnya.
Warga adat lainnya, Kores Lapon, juga membantah narasi tentang adanya keributan atau penyanderaan.
“Bahwa terkait terjadi keributan seperti yang dikabarkan media itu tidak benar,” katanya.
Menurutnya, penyerahan speedboat kepada masyarakat adat merupakan bentuk ketaatan terhadap aturan adat — bukan tindakan kriminal.
“Kami kecewa terhadap beberapa media yang menyampaikan bahwa kami menyandera speedboat, kami tidak melakukan penyanderaan,” ujarnya.
Kores menambahkan, jika masyarakat adat berniat melakukan penyanderaan, mereka bisa saja mengusir pemilik speedboat. Namun seluruh proses berlangsung aman, damai, dan tanpa kekerasan.
“Karena masuk di wilayah adat yang ada larangan adat, jadi kami bawa dan kembalikan ke kampung,” jelasnya.
Luther Ayelo memastikan bahwa speedboat milik wisatawan Austria bernama Andreas telah dikembalikan secara sukarela setelah proses negosiasi yang dipimpin seorang anak adat yang juga anggota Polres Raja Ampat.
Tidak ada satu pun barang pribadi yang diambil atau disita oleh masyarakat adat.
Insiden yang terjadi pada 3 November 2025 di Kampung Selpele, menurut Luther, adalah bagian dari proses sanksi adat yang berjalan damai dan sesuai mekanisme hukum adat Papua.
Masyarakat adat Suku Kawei berharap seluruh pihak menjunjung asas keadilan, menghormati hukum adat, dan tidak terburu-buru menyebarkan tuduhan tanpa klarifikasi.
Mereka menekankan bahwa kearifan lokal dan hak ulayat harus dihormati demi menjaga harmoni di Raja Ampat.













