Sorong, Papua Barat Daya — Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan (LHKP) Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu, menegaskan pentingnya mencari sumber pendanaan iklim alternatif di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk menjaga kelestarian hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat di wilayahnya.
Menurutnya, keterbatasan APBD menjadi tantangan besar di tengah potensi kawasan hutan Papua Barat Daya yang masih sangat luas.
“Hari ini adalah bagaimana mencari solusi pendanaan iklim di luar APBD. Karena APBD kita semakin minim, sementara potensi kawasan hutan kita cukup besar. Sehingga kita perlu mencari pola-pola lain, strategi lain untuk mendapatkan pendanaan,” ujar Julian Kelly Kambu dalam kegiatan FGD Membuka Peluang Pendanaan Iklim untuk Wilayah dengan Tutupan Hutan Tinggi dan Tingkat Deforestasi Rendah Melalui Inisiatif Tingkat Yurisdiksi di Provinsi Papua Barat Daya, yang berlangsung di Kabupaten Sorong, Senin (27/10/2025).
Ia menyoroti fakta bahwa masyarakat Orang Asli Papua (OAP) hidup di tengah kekayaan sumber daya hutan yang melimpah, namun belum merasakan manfaat ekonomi yang sepadan.
“Masyarakat OAP kaya dengan hutannya, tapi tetap miskin dengan kekayaan hutan yang ada. Salah satu yang bisa menurut kami dapat mensejahterakan masyarakat adalah dengan kredit dan jual beli karbon, sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat yang memiliki hutan,” jelasnya.
Namun, lanjut Julian, proses memperoleh akses pendanaan karbon tidak sederhana. Diperlukan upaya dan tahapan teknis agar dapat memperoleh persetujuan dari lembaga pendanaan iklim internasional.
“Kredit dan jual karbon ini tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi perlu ada kerja-kerja yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan persetujuan dari pemberi dana iklimnya,” imbuhnya.
Julian menuturkan, Papua Barat Daya memiliki tutupan hutan yang mencapai 89 persen dengan tingkat deforestasi yang relatif rendah. Kondisi ini menjadikan provinsi baru tersebut memiliki posisi strategis untuk mengajukan pendanaan berbasis karbon.

“Daerah yang punya tutupan hutannya baik tapi deforestasinya rendah, seperti Papua Barat Daya, bisa menjadi contoh untuk mendapatkan sumber pendanaan karbon,” katanya.
Salah satu langkah yang sudah ditempuh, kata Julian, adalah melalui program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dengan dukungan pendanaan sekitar Rp 17 miliar yang dikelola oleh lembaga Penabulu. Program tersebut kini tengah berjalan selama satu setengah tahun, mencakup penyusunan juknis dan tahapan implementasi di lapangan.
Selain itu, Dinas LHKP juga tengah menyiapkan strategi menuju “FOLU Net Sink 2030”, yakni komitmen untuk menurunkan emisi dari sektor kehutanan dan lahan, serta meningkatkan penyerapan karbon melalui konservasi dan rehabilitasi hutan.
Julian menekankan bahwa seluruh upaya ini merupakan bagian dari peta jalan (roadmap) pembangunan berkelanjutan di Papua Barat Daya, yang berorientasi pada keseimbangan antara pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat.
“Kami tidak mau meninggalkan air mata, tapi menjadikannya mata air melalui berbagai kebijakan strategis dari sektor kehutanan, lingkungan hidup dan pertanahan,” tegasnya.
Ia menambahkan, perubahan tidak dapat dicapai secara instan. Dibutuhkan waktu, kerja keras dan komitmen lintas pihak.
“Apa yang kita lakukan bukan sekadar membalik telapak tangan atau berdoa lalu datang keajaiban. Kita harus bekerja, perlahan tapi pasti. Mungkin target kami 5–10 tahun ke depan, masyarakat adat bisa benar-benar sejahtera karena hutan,” tuturnya.
“Hari ini, kita bangga dengan hutan kita. Tapi masyarakat masih menjerit di tengah hutan. Karena itu, kami sedang mencari terobosan agar kekayaan alam ini benar-benar membawa kesejahteraan bagi masyarakat adat Papua Barat Daya,” pungkasnya.













