Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya melalui Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya menggelar Rapat Koordinasi Pencegahan dan Pemberantasan Peredaran Hasil Hutan Illegal dalam Rangka Pengamanan Hutan dan Kawasan Hutan, yang berlangsung di Hotel Vega Sorong, Kamis (20/11/2025).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan (DLHKP) Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu menegaskan, persoalan peredaran kayu ilegal telah menjadi masalah menahun sejak era Irian Jaya, Papua, hingga kini Papua Barat Daya. Namun, penanganan secara terpadu baru bisa dilakukan setelah provinsi ini resmi berdiri.
“Kami lakukan rapat koordinasi untuk bagaimana pencegahan terhadap peredaran kayu, bagaimana menjaga kawasan hutan. Ini menjadi permasalahan sejak provinsi ini ada, bahkan jauh sebelumnya,” ujarnya.

Julian menyampaikan, kegiatan ini merupakan langkah penting untuk membangun komunikasi lintas sektor, mulai dari masyarakat adat, TNI, Polri, Kejaksaan, Gakkum KLHK, Balai Pengelolaan Hutan Lestari, Polisi Kehutanan, Pelindo, KSOP, hingga lembaga mitra pembangunan lainnya. Semua pihak, katanya, perlu duduk bersama untuk melihat persoalan hutan secara komprehensif.
“Walaupun peredaran kayu dan permasalahan kawasan hutan ini sudah terjadi sejak lama, baru di tahun 2025 kami melakukan kegiatan terkoordinasi seperti ini. Kami ingin semua pihak memposisikan diri sesuai tugas dan fungsi masing-masing demi menjaga hutan kita,” tambahnya.
Ia menekankan, terdapat aturan nasional yang perlu dibenahi, namun ada pula hal-hal yang bisa diselaraskan melalui kebijakan lokal. Karena itu, masukan dan saran dari peserta rapat menjadi penting untuk memperkuat langkah pengamanan hutan.
Julian juga mengungkap fakta, pemanfaatan hasil hutan kayu di Papua Barat Daya belum sepenuhnya berjalan sesuai aturan. Sesuai perundang-undangan, kayu legal berasal dari dua sumber yaitu dari pohon yang ditanam dan dari pemegang izin pemanfaatan hasil hutan kayu (HPH).
Di Papua Barat Daya, hanya terdapat empat perusahaan pemegang HPH, namun aktivitasnya dinilai lemah.

“Empat perusahaan ini pun dibilang hidup segan mati tak mau, sementara ada 12 industri kayu. Secara aturan, 12 industri ini seharusnya mengambil bahan baku dari empat perusahaan HPH. Namun kenyataannya, banyak yang mengambil langsung dari masyarakat,” jelasnya.
Situasi ini, kata Julian, berpotensi memperbesar peredaran kayu ilegal. Karena itu, koordinasi dan penegakan hukum harus diperkuat.
“Kalau sesuai prosedur perizinan, kita dukung. Kalau tidak sesuai perizinan, kita juga mendukung proses hukum,” tegasnya.
Rakor tersebut diharapkan menjadi momentum untuk mempertegas komitmen seluruh pemangku kepentingan dalam menjaga kelestarian hutan dan menekan laju aktivitas ilegal yang merugikan negara dan masyarakat adat di Papua Barat Daya.













