Sorong — Seorang ayah angkat berinisial A (59) diduga kuat melakukan rudapaksa terhadap anak angkatnya, sebut saja Melati (11), siswi kelas 5 di salah satu sekolah dasar swasta di Kota Sorong.
Kasus ini kini menjadi perhatian serius setelah kuasa hukum korban, Agustinus Jehamin, mengungkap kronologi panjang yang dialami korban sejak dua tahun lalu.
Menurut Agustinus, tindak kejahatan tersebut pertama kali terjadi pada 2023, ketika Melati masih berusia 9 tahun dan duduk di bangku kelas 3 SD.
“Pada tahun 2024, pelaku kembali melanjutkan aksinya dengan melakukan rudapaksa terhadap korban,” ujarnya, Jumat (14/11/2025).
Tidak tahan dengan perlakuan ayah angkatnya, Melati akhirnya memberanikan diri bercerita kepada teman-teman di sekolah.
Informasi ini kemudian sampai kepada para guru, yang langsung mengambil langkah tegas dengan melaporkan kejadian tersebut ke UPTD PPA Satreskrim Polresta Sorong Kota pada awal 2025.
Agustinus mengungkapkan, hingga saat ini korban masih mengalami trauma mendalam. Melati kerap ketakutan karena mengetahui pelaku masih bebas berkeliaran di Kota Sorong.
“Karena tidak merasa aman di rumah dan tidak mendapat perhatian maupun kenyamanan, korban sudah tiga bulan terakhir tinggal di rumah salah satu guru,” jelas Agustinus.
Ia menambahkan, kondisi psikologis korban semakin terganggu karena proses hukum yang berjalan belum memberikan rasa keadilan.
Meski berkas perkara telah ditangani Unit PPA Polresta Sorong Kota, pelaku hingga kini belum ditahan. Polisi beralasan bahwa tersangka bersikap kooperatif dan rutin melapor tiga kali seminggu.
“Kami mempertanyakan kenapa sampai sekarang belum ada penahanan. Ini adalah kasus khusus dengan ancaman pidana berat, sehingga penahanan seharusnya menjadi pertimbangan utama,” tegas Agustinus.
Kuasa hukum korban juga menyoroti sikap salah satu jaksa di Kejaksaan Negeri Sorong yang menangani perkara ini. Menurutnya, jaksa tersebut pernah mengajukan pertanyaan yang tidak pantas kepada korban saat wawancara.
“Korban ditanya, ‘Kalau tersangka masuk penjara, kamu tidak kasihan? Tidak ada yang biayai kamu?’ Pertanyaan seperti ini tidak mencerminkan keberpihakan kepada korban. Jaksa adalah wakil negara dan berkewajiban melindungi korban,” ujar Agustinus.
Ia juga menyayangkan keluarga angkat korban yang dinilai minim memberikan dukungan selama proses hukum berlangsung.
Agustinus berharap, pihak Kepolisian dan Kejaksaan segera menyelesaikan pelimpahan tahap dua sehingga perkara dapat secepatnya masuk ke persidangan.
“Kami hanya ingin korban mendapat perlindungan dan keadilan. Sampai saat ini kondisi mental korban masih terganggu karena pelaku belum ditahan,” pungkasnya.
Kasus ini menambah panjang daftar kejahatan seksual terhadap anak yang membutuhkan perhatian serius dari aparat penegak hukum, lembaga perlindungan anak dan masyarakat. Pemeriksaan lanjutan serta proses hukum masih terus berjalan.













