Kabut pagi itu bergerak pelan diatas permukaan air, membingkai siluet pepohonan yang berdiri anggun di tepian Danau Mayalibit. Udara masih basah oleh embun, sementara kicauan burung terdengar dari kejauhan, seperti salam pembuka dari alam untuk siapapun yang datang menjejakkan kaki disini.
Pagi itu, embun masih menggantung di ujung daun pandan hutan ketika suara burung kakatua raja, nuri kepala hitam dan jambul kuning menggema di lembah Waifoi. Kabut tipis menyelimuti pepohonan yang menjulang di tepian Danau Mayalibit, seolah menjaga rahasia sebuah kampung kecil di jantung Raja Ampat yang kini sedang menulis babak baru dalam kisahnya Saupon Adventure Village.

Perahu kecil meluncur di antara kabut, membawa rombongan para kuli tinta bersama beberapa karyawan PT Kilang Pertamina Indonesia (KPI) RU VII Kasim menuju Kampung Waifoi, sebuah desa yang seolah bersembunyi di pelukan hutan. Tak ada papan neon, taka da suara mesin. Hanya desir air, aroma tanah basah dan sambutan hangat dari masyarakat yang hidup seirama dengan alam.
Inilah rumah Saupon Adventure Village, kisah nyata tentang perubahan, harapan dan cinta pada bumi di ujung Timur Indonesia.
Beberapa tahun lalu, nama Kampung Waifoi belum banyak dikenal di peta wisata Raja Ampat. Kehidupan masyarakat yang terdiri dari 4 marga yakni Gaman, Dawa, Warkaku dan Nok sangat bergantung pada hasil hutan.

Perburuan dan penjualan satwa liar menjadi cara bertahan hidup yang turun temurun. Burung-burung yang kini dilindungi seperti burung kakatua raja, nuri kepala hitam dan jambul kuning, dulu kerap berpindah tangan dari hutan tropis ke kapal-kapal dan pasar jauh di kota. Satwa endemik itu, dulunya dijual dengan harga hanya Rp 10.000 hingga Rp 50.000 per ekor.
Namun perlahan, arah angin berubah. Melalui pendampingan dan program konservasi yang diinisiasi oleh PT Kilang Pertamina Indonesia (KPI) RU VII Kasim bekerja sama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat Daya dan Kelompok Tani HUtan (KTH) Waifoi, masyarakat mulai memahami bahwa alam bukan untuk dihabiskan, melainkan dijaga dan diwariskan.

“Dulu kami hanya tahu menjual hasil hutan, termasuk hewan. Sekarang, kami menjaga mereka. Hutan ini bukan lagi tempat berburu, tapi rumah yang harus kami rawat,” tutur Zakarias Gaman, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Waifoi sambil menatap kearah rimbunan pohon di seberang danau, saat berbincang dengan sejumlah kuli tinta yang datang berkunjung di Saupon Adventure Village, Kampung Waifoi, Distrik Tiplol, Mayalibit, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Sabtu (14/10/2025).
Transformasi ini berawal dari sebuah kolaborasi antara PT Kilang Pertamina Indonesia (KPI) RU VII Kasim dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat Daya pada tahun 2018. Bersama-sama mereka menggagas program pemberdayaan berbasis konservasi yang menuntun masyarakat untuk melihat alam sebagai aset yang tak ternilai, bukan sekedar sumber daya yang bisa dieksploitasi.
Dinamai dari kata lokal saupon yang berarti “sumber kehidupan”, Saupon Adventure Village menjadi wujud nyata dari filosofi itu. Makna itu terasa nyata di setiap sudut kampung. Jalur-jalur hutan yang dulu menjadi lintasan pemburu, kini menjadi rute jungle trekking. Disini wisatawan dapat berjalan diantara pohon-pohon tinggi berlumut, mendengar simfoni alam yang tak pernah usai dan sesekali melihat sekilas burung kakatua putih menari di udara pagi.

Desa ini bukan hanya destinasi wisata, tetapi ruang belajar tentang hubungan manusia dengan alam, tentang tanggung jawab dan tentang kebahagiaan sederhana yang lahir dari harmoni.
Setiap sudut Waifoi menyimpan kisah. Jalur trekking melewati hutan tropis membawa wisatawan menuju air terjun tersembunyi, dimana sinar matahari menembus dedaunan seperti kilau kaca di udara lembab. Di sekitar danau, burung-burung endemik seperti kakatua raja, nuri kepala hitam dan jambul kuning menari di antara ranting.

Tidak jauh dari kampung, suara gemericik air memandu langkah kearah air terjun tersembunyi yang seolah menjadi penjaga sunyi lembah Waifoi. Airnya jernih, dingin dan berkilau dibawah cahaya matahari yang menembus celah dedaunan. Ditepi danau, masyarakat membangun pondok kecil tempat wisatawan dapat bersantai menikmati hutan mangrove sambil menyeruput kopi lokal yang diseduh warga.
Di bawah naungan pohon tinggi, masyarakat lokal memandu para tamu mengenal tanaman sagu atau sekedar bercerita tentang leluhur mereka yang hidup menyatu dengan alam. Ada kehangatan yang khas, kejujuran dari masyarakat yang sedang bangkit, perlahan namun pasti, dari ketergantungan menuju kemandirian.

Bagi warga Waifoi, konservasi bukan lagi konsep asing. Ia telah menjadi cara hidup. Melalui program Saupon Adventure Village, masyarakat kini mengembangkan berbagai aktivitas wisata yang tetap menjaga kelestarian ekosistem dari birdwatching, jungle trekking hingga ekowisata budaya.
Homestay-homestay sederhana berdiri ditepi danau, dibangun dari kayu lokal dengan atap daun sagu yang sejuk. Para ibu mengelola kuliner khas Papua, seperti papeda hangat, ikan bakar dan sambal colo-colo yang pedas menyegarkan. Sementara anak muda dan bapak-bapak menjadi pemandu wisata, fotografer alam dan penjaga kawasan konservasi.

“Sekarang ekonomi kampung bergerak, kami tidak lagi bergantung pada hasil hutan yang dijual. Alam tetap lestari, tapi kami juga bisa hidup lebih baik. Dulu hanya ada dua homestay, tapi sekarang sudah ada lima homestay,” kata Zakarias dengan nada bangga.
Meskipun masih minim fasilitas seperti tidak adanya jaringan listrik PLN maupun jaringan telekomunikasi, namun dalam satu bulan rata-rata terdapat 8 sampai 10 trip wisatawan yang berasal dari Australia, Eropa, Afrika dan Asia yang datang berkunjung untuk menikmati keindahan alam di Saupon Adventure Village.
Untuk menginap disini, wisatawan hanya cukup membayar Rp 550.000 per orang per malam. Itu sudah termasuk melakukan aktivitas eksplore hutan mangrove sepanjang 1 kilometer, menangkap ikan dengan cara tradisional yaitu balobe dan memancing, melakukan tokok sagu, menikmati keindahan gunung nok dan danau mayalibit, jungle trekking dan melihat burung serta mendapat kesempatan mengajar di salah satu sekolah dasar yang ada di Kampung Waifoi.

Sebagian besar wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang datang berkunjung di Saupon Adventure Village setelah mendengar cerita dari mulut ke mulut, bukan karena brosur atau selebaran.
“Kami disini kalau mau beli BBM (Bahan Bakar Minyak) untuk genset atau perahu, itu beli eceran di Waisai dengan harga Rp 12.000 per liter untuk BBM campuran dan Rp 18.000 per liter untuk pertamax atau pertalite,” kata Yopi Gaman, warga Kampung Waifoi yang sudah berprofesi sebagai pemandu wisata selama kurang lebih 20 tahun lamanya.

Menurut Ferdy Saputra, Area Manager Communication, Relation, CSR & Compliance PT KPI RU VII Kasim, program konservasi keanekaragaman hayati ini sejalan dengan komitmen perusahaan terhadap prinsip Environmental, Social & Governance (ESG).
“Kami ingin menghadirkan model pemberdayaan yang menyeimbangkan antara bisnis dan keberlanjutan. Saupon Adventure Village adalah bukti bahwa konservasi bisa menjadi sumber ekonomi baru bagi masyarakat,” jelas Ferdy.
Melalui pendampingan berkelanjutan, PT KPI RU VII Kasim dan BBKSDA Papua Barat Daya tidak hanya memberikan dukungan teknis. Tetapi juga membangun kapasitas masyarakat agar mampu mengelola destinasi wisata secara mandiri.

Menjelang sore, cahaya matahari memudar dibalik punggung bukit. Suara jangkrik mulai menggantikan kicau burung, sementara riak air danau memantulkan warna jingga langit. Di kejauhan, anak-anak kampung berlarian di dermaga kayu, tertawa, menatap matahari yang tenggelam perlahan di ufuk barat.
Disinilah, di tengah rimba hijau dan danau, Waifoi membuktikan bahwa konservasi bukan sekedar menjaga alam, tetapi menjaga kehidupan itu sendiri. Saupon Adventure Village bukan hanya sebuah destinasi, melainkan cermin dari perubahan, harapan dan masa depan yang lestari di jantung Raja Ampat. (IRIANTI)