Bandara Domine Eduard Osok (DEO) Sorong kini telah berganti status menjadi Bandara Internasional.
Peningkatan status Bandara DEO Sorong menjadi Bandara Internasional, diumumkan usai pelaksanaan Upacara Bendera dalam rangka memperingati HUT ke-80 Republik Indonesia, yang berlangsung di Kodaeral XIV Sorong, Minggu (17/8/2025).
Untuk menjadikan Bandara DEO Sorong seperti sekarang ini, ternyata bukan suatu hal yang mudah. Butuh perjuangan yang panjang dan waktu yang lama, serta materi yang sangat besar.
Mantan Wali Kota Sorong 2 periode Lamberthus Jitmau mengatakan, Kota Sorong adalah kota yang tidak memiliki sumber daya alam.
Untuk dapat menjadikan Kota Sorong menjadi kota termaju dan pintu gerbang di tanah Papua, kata Lambert, maka berbagai upayapun dilakukannya. Salah satunya, yakni memindahkan bandara yang dulunya berada di Pulau Jefman ke Kota Sorong.
“Kota Sorong tidak punya sumber daya alam. Makanya untuk menjadikan Kota Sorong menjadi kota termaju di tanah Papua, saya berupaya membangun semua infrastruktur, salah satunya bandara,” ujar Lambert kepada awak media saat menceritakan perjuangan panjangnya untuk membangun infrastruktur di Kota Sorong termasuk Bandara DEO Sorong dan Pelabuhan Sorong, Selasa (19/8/2025).
Diakui Lambert, meskipun Kota Sorong tidak memiliki sumber daya alam seperti kabupaten tetangga, akan tetapi Kota Sorong memiliki potensi sumber daya manusia yang sangat besar dan itu menjadi modal utama dalam menggerakkan roda perekonomian.
“Kota Sorong punya sumber daya manusia. Mereka bisa menciptakan fasilitas jasa, dari tidak ada menjadi ada,” ungkapnya.
Kata Lambert, dirinya memperjuangkan hadirnya bandara di Kota Sorong, karena bandara merupakan pintu masuk utama bagi pembangunan di Kota Sorong.
“Proses untuk menjadikan Bandara DEO Sorong seperti sekarang ini tidak mudah, butuh perjuangan yang panjang. Saya langsung menghadap Menteri Perhubungan saat itu, untuk memperjuangkan pengembangan Bandara DEO,” bebernya.
Lambert menceritakan, perjuangan untuk merubah wajah Bandara DEO Sorong tidaklah mulus. Banyak kendala dan tantangan yang dihadapi dirinya bersama para Pimpinan OPDnya saat itu.
“Kendala dan tantangan terbesar itu masalah ganti rugi lahan dan relokasi rumah warga, termasuk fasilitas ibadah,” katanya.
Menghadapi manusia, sambung Lambert, sangat rumit. Untuk dapat merelokasi warga yang tinggal sudah puluhan tahun di lokasi bandara, itu sangat sulit sekali.
“Mereka bukan batu atau pasir yang kita angkat buang, tidak boleh. Mereka adalah warga yang harus diperlakukan baik. Walaupun waktu itu ada yang mendukung saya dan ada juga yang menolak. Tapi saya datangi mereka, bicara baik-baik. Tapi karena saya punya niat harus lakukan perubahan, akhirnya semua selesai, bahkan saya bangun rumah baru bagi warga di Jalan Victory,” kenangnya.
Diakui Lambert, APBD Kota Sorong saat itu sangatlah kecil dan tidak cukup untuk melakukan ganti rugi lahan. Agar dapat melakukan proses ganti rugi, dirinya meminta dukungan dari Gubernur Papua saat itu yakni Jacobus Perviddya Solossa.
“Saya waktu itu ketemu dengan Gubernur Papua saat itu, saya bilang kakak harus bantu saya untuk kasih maju Kota Sorong. Waktu itu Gubernur Papua bantu saya anggaran sekitar Rp 49 miliar dan uang itu saya gunakan untuk ganti rugi lahan warga sesuai dengan mereka punya permintaan,” aku Lambert.
Lambert juga menceritakan, awalnya Bandara DEO namanya lapangan patah hati.
“Awalnya itu namanya lapangan patah hati, sedangkan bandara yang besar ada di Jefman,” ujarnya.
Kata Lambert, yang memberi nama bandara Domine Eduard Osok sebenarnya adalah Wali Kota Sorong pertama JA Jumame.
“Waktu itu saya diskusi dengan kakak saya mantan Wali Kota Sorong kakak Jumame, untuk memakai namanya menjadi nama bandara. Tapi kakak dia bilang, lebih baik kasih nama Domine Eduard Osok saja, beliau adalah putra asli Moi pertama yang diangkat menjadi pendeta atau penginjil di Tanah Papua. Saya akhirnya setuju nama Bandara dikasih nama Bandara Domine Eduard Osok,” tegasnya.
Setelah bandara di Jefman pindah ke Kota Sorong, lanjut Lambert, dirinya langsung melakukan loby-loby ke Pusat untuk pengembangan Bandara DEO Sorong.
“Saya langsung menghadap Presiden dan Menteri Perhubungan dan akhirnya mereka membantu Pemerintah Kota Sorong untuk mengembangkan bandara DEO,” jelasnya.
Menurut Lambert, dirinya menahkodai Kota Sorong dari tahun 2012-2017 dan 2017-2022, dengan visi besar menjadikan Kota Sorong menjadi kota termaju di tanah Papua.
“Sampai akhir masa jabatan saya, mimpi itu terwujud. Kota Sorong telah menjadi kota termaju di tanah Papua,” kata Lambert.
Selain bandara, kata Lambert, dirinya juga telah melakukan pembebasan lahan untuk membangun jalan dua jalur dari Km 12 sampai Km 18, Pelabuhan Sorong, Stadion Bawela dan juga Pasar Modern Rufei.
“Bayar ganti rugi tanah lebih mahal daripada bangun fisiknya. Namun saya tetap ganti rugi, karena kalau tidak maka pembangunan tidak akan terwujud,” imbuhnya.
Menurutnya, kerja keras membangun infrastruktur berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Sorong.
“Selama 10 tahun saya pimpin, pertumbuhan ekonomi kota ini mencapai 8,7 persen. Nasional saja 5,8 persen. Itu karena uang dari lima kabupaten sekitar semua habisnya di Kota Sorong,” ujarnya.
Kehadiran hotel, pasar, fasilitas publik, hingga stadion, kata Lambert, menjadi bukti nyata perkembangan terjadi di Kota Sorong yang saat ini bisa dinikmati seluruh masyarakat.
“Apa yang sudah ada tolong dijaga dengan baik. Yang perlu dijaga, jaga. Kalau mau bongkar silakan, tapi bangun lebih baik dari itu. Karena pembangunan tidak jatuh dari langit. Butuh keberanian untuk berbuat, bukan hanya bicara. Apa yang saya buat untuk anak cucu,” pungkasnya.