Berita  

Peserta Pemilu Curiga Ada Permainan Dalam Proses Tahapan Pemilu di Provinsi Papua Barat Daya

Peserta pemilu khususnya dan masyarakat umumnya menaruh curiga ada permainan dalam proses tahapan pemilu, yang berlangsung di Provinsi Papua Barat Daya. Kecurigaan ini muncul disebabkan karena ada beberapa hal yang terjadi dalam proses tahapan pemilu.

Diantaranya, tiga hari pasca Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Tingkat Kota Sorong, KPU Kota Sorong belum juga hadir dalam Rapat Pleno Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Tingkat Provinsi Papua Barat Daya, untuk membacakan hasil plenonya dengan alasan masih ada berkas administrasi yang belum diselesaikan. Hal ini juga terjadi pada KPU Maybrat dan KPU Sorong Selatan.

Kemudian untuk KPU Tambrauw yang meskipun berkas-berkas hasil plenonya sudah selesai dan diserahkan ke KPU maupun Bawaslu Provinsi Papua Barat Daya, akan tetapi Ketua KPU Tambrauw menghilang entah kemana dan susah dihubungi.

Sementara itu, KPU Provinsi Papua Barat Daya sendiri menunda secara sepihak pelaksanaan Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Tingkat Provinsi Papua Barat Daya, dengan alasan menunggu KPU Tambrauw, KPU Kota Sorong, KPU Kabupaten Maybrat dan KPU Sorong Selatan menyelesaikan berkas administrasinya.

Terkait hal tersebut, salah satu peserta pemilu yakni calon anggota DPD RI Amos Atkana angkat bicara.

Menurut Amos, sebagai peserta pemilu dan pengamat demokrasi, dirinya menduga ada yang tidak beres dengan KPU Papua Barat Daya.

“Saya sebagai peserta pemilu jelas sangat curiga ada permainan dalam proses tahapan pemilu di Provinsi Papua Barat Daya,” tegasnya kepada BalleoNews, Sabtu (9/3/2024).

Dikatakan Amos, pleno merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi. Oleh sebab itu, penundaan pleno seharusnya diputuskan dalam forum tersebut, bukan melalui surat edaran.

“Etisnya, KPU Papua Barat Daya mencabut dulu skornya dan membuka kembali pleno. Kemudian menerima pendapat dari peserta dan Bawaslu, baru kemudian diskors kembali untuk ditunda,” ungkap Ketua Jaringan Demokrasi Indonesia Provinsi Papua Barat Daya.

Dirinya menilai, surat edaran penundaan pleno yang disebarkan KPU Provinsi Papua Barat Daya tidak tepat dan inkonstitusional.

“Surat itu tidak tepat, karena pleno sudah dijadwalkan untuk dibuka hari ini. Seharusnya setelah pleno dibuka dan mendapat tanggapan, baru dikeluarkan surat penundaan,” tegasnya, Sabtu kemarin.

Terkait dengan apa yang telah terjadi, Caleg DPD RI Dapil Papua Barat Daya ini mengingatkan kepada KPU agar tidak boleh ada melegalkan sesuatu yang tidak legal.

“Kami minta KPU menerapkan asas perlakuan peserta pemilu secara adil, asas kepastian hukum dan asas nonpartisan,” imbuhnya.

Lanjut Amos, saat pembukaan pleno, dirinya sangat simpatik dengan pernyataan dari Ketua KPU Provinsi Papua Barat Daya yang menekankan akan mengedepankan integritas dan menunjung tinggi nilai kejujuran dalam berdemokrasi. Namun dengan apa yang telah terjadi, dirinya mengaku merasa kecewa dan menaruh kecurigaan yang sangat besar terhadap kinerja KPU.

Awalnya, sambung Amos, Ketua KPU Provinsi Papua Barat Daya mengatakan pleno ini harus dilakukan secara cepat karena deadline waktu yang diberikan.

Tapi kenapa justru KPU membiarkan waktu kosong pada hari sabtu dan baru memulai pleno kembali pada minggu.

“Ini membuang waktu hampir 28 jam. Ada apa dengan KPU Papua Barat Daya? Apakah masih seperti dulu dengan spirit satu suara di TPS dan satu suara di tingkat provinsi? Atau ada conflict of interest?,” pungkas Amos.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *