Masyarakat adat Suku Kawei melakukan pemalangan di Pulau Wayag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Selasa sore (10/6/2025).
Pemalangan ikon wisata dunia ini sebagai bentuk protes keras masyarakat adat Suku Kawei, pasca diumumkannya rencana pencabutan izin tambang nikel oleh Pemerintah Pusat.
Berdasarkan informasi yang dihimpun media ini, pemalangan Pulau Wayag dilakukan masyarakat adat dari empat marga pemilik hak ulayat. Yakni marga Ayelo, Daat, Ayei dan Arempele.
Dimana dalam tuntutannya, masyarakat adat mendesak pemerintah pusat untuk membatalkan pencabutan izin tambang, serta mempertimbangkan nasib ratusan pekerja yang akan kehilangan mata pencaharian apabila perusahaan ditutup.
Masyarakat adat juga menyatakan, tidak akan membuka kembali akses wisata Pulau Wayag sebelum ada kepastian dari pemerintah terkait kelanjutan izin operasional PT KSM dan perusahaan tambang lainnya di wilayah adat suku Kawei.
Dengan dilakukannya pemalangan tersebut, maka otomatis segala akses dan aktivitas wisata di Pulau Wayag resmi ditutup.
“Kami masyarakat empat marga, Ayelo, Daat, Ayei dan Arempele menutup seluruh aktivitas pariwisata di Kepulauan Wayag. Kami sebenarnya tidak mengganggu wisata, tapi kenapa atas nama pariwisata justru mau mengganggu perusahaan kami yang telah kami perjuangkan demi masa depan anak cucu kami,” ungkap salah satu tokoh adat yang juga pemilik hak ulayat Pulau Wayag Luther Ayelo.
Menurut Luther, pemalangan ini merupakan buntut dari rencana pemerintah pusat untuk mencabut izin empat perusahaan tambang nikel yang ada di Kabupaten Raja Ampat, salah satunya adalah PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) yang beroperasi di Pulau Kawei.
Padahal PT KSM, sambungnya, beroperasi atas dasar kesepakatan dengan masyarakat adat Suku Kawei.
“Keberadaan tambang justru membawa harapan baru bagi kesejahteraan kami. Kami tidak mencuri, kami kerja diatas tanah kami sendiri. Kalau perusahaan kami ditutup, maka Pulau Wayag juga kami tutup,” tegas Luther Ayelo.
Selain itu, masyarakat juga mengecam beredarnya konten editan menyesatkan di media sosial yang menyudutkan aksi mereka.
“Perjuangan ini murni untuk mempertahankan hak ekonomi dan tanah adat yang selama ini telah kami kelola secara sah dan bertanggung jawab,” pungkasnya.