Sebanyak 43 orang Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang ada di Provinsi Papua Barat Daya mendapat pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT).
Pemecatan yang diduga dipicu kebijakan baru yang mengharuskan Tenaga Pendamping Profesional menandatangani surat pernyataan yang mencakup empat butir ketentuan, mendapat sorotan dari berbagai pihak.
Sekretaris Dewan Adat Papua Wilayah III Doberai Agustinus Daniel Kapisa mengatakan, kebijakan yang dibuat Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sangat tidak adil dan bertentangan dengan peraturan sebelumnya yang mengizinkan TPP mengikuti kontestasi politik tanpa harus mundur dari jabatannya.
“Keputusan ini sebagai jebakan administratif yang sengaja dibuat, untuk menyingkirkan pendamping desa yang terlibat dalam Pemilu 2024, serta mengabaikan hak-hak tenaga pendamping, terutama Orang Asli Papua (OAP),” ungkapnya saat memberikan keterangan pers, bertempat di Sekretariat DAP III Doberay, Jumat (21/3/2025).
Menurutnya, kebijakan ini berpotensi menyebabkan gejolak sosial dan penurunan kualitas pendampingan masyarakat desa.
Sehubungan dengan hal tersebut, katanya, Dewan Pengurus Wilayah Asosiasi Pendamping Masyarakat dan Desa Nusantara (DPW APMDN) Papua Barat Daya telah melayangkan surat keberatan kepada Komisi V DPR RI, Ombudsman dan Kantor Staf Presiden untuk meminta peninjauan ulang keputusan PHK ini.
“Kami juga mendesak Dewan Adat Papua Wilayah III Doberai dan DPD RI untuk turun tangan menyelesaikan permasalahan ini,” harapnya.
Sementara itu, Ketua DPW APMDN Papua Barat Daya Guy James Kipuw menyatakan, tenaga pendamping bukanlah Pertamina atau kasus BLBI. Mereka hanya melakukan pemberdayaan masyarakat dab telah mengabdi selama bertahun-tahun.
“Kebijakan baru ini menghambat kerja keras yang telah kami lakukan, bahkan membuat kami kehilangan pekerjaan tanpa alasan yang jelas. Kami sekarang dipaksa berhenti hanya karena perubahan aturan yang tidak masuk akal,” tegasnya.
Kebijakan yang dibuat Kementerian Desa, sambungnya, tidak hanya merugikan tenaga pendamping. Akan tetapi merugikan masyarakat desa yang mereka dampingi.
“Bapak Presiden Prabowo Subianto harus turun tangan menyelesaikan masalah ini. Kami minta dukungan dari Dewan Adat Papua serta senator Papua Barat, untuk memperjuangkan hak-hak tenaga pendamping,” imbuhnya.
Ditambahkannya, jika keputusan PHK ini tidak dibatalkan, maka ratusan hingga ribuan tenaga pendamping di seluruh Indonesia berisiko mengalami nasib serupa.
“Kami tidak akan diam. Kami akan terus berjuang, agar hak kami tidak diinjak-injak,” pungkas Guy James Kipuw.